Antara Sarana Dan Tujuan
ANTARA SARANA DAN TUJUAN
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary
Para pemuda Muslim yang penuh antusias, yaitu yang hendak mengembalikan kemuliaan umat dan menegakkan syariat Allah di bumi, banyak yang mencampur aduk berbagai pengertian syariat dalam amal dan dakwahnya.
Pencampuradukan pemikiran ini seringkali menjurus kepada kesalahan yang fatal tentang konsep hakikat dakwah kepada Allah atau dalam amal Islamy –menurut trend istilah mereka—sehingga Anda mendapatkan mereka tak pernah berhenti berusaha siang dan malam, aktif menghimpun para remaja, mengarahkan, membina, dan memompa kekuatan mereka, yang akhirnya membuat lupa dan keblinger bahwa semua itu hanyalah sarana, bukan merupakan tujuan.
Tujuan sebagaimana yang telah kami singgung di atas, adalah menegakkan ubudiyah karena Allah dan menancapkan sendi-sendi tauhid di dalam jiwa manusia. Sedangkan sarana dari tujuan ini adalah dakwah kepada Allah, mengingatkan kepada kebaikan, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan manhaj nabawy, tidak ada yang lain. Sebab dakwah kepada Allah merupakan dakwah yang sejalan dengan fitrah dan mudah untuk dilaksanakan, sudah termuat secara gamblang dalam Kitab dan Sunnah, tidak membutuhkan unsur-unsur eksternal dari manhaj nubuwah, kapan pun dan di mana pun, baik dalam konsep maupun hakikatnya.
Dakwah kepada Allah berdasarkan manhaj ini dan aktivitas da’i untuk memantapkan keharusan-keharusannya di dalam jiwa, merupakan tugas setiap orang yang berkompeten di dalam Islam, terlepas sama sekali dari kesempitan dan keterbatasan golongan. Sebab ini merupakan aktivitas yang dilaksanakan berdasarkan manhaj nubuwah dengan segala cakupan dan universalitasnya. Ini merupakan kewajiban setiap orang yang berpegang kepada dasar syariat, tidak perlu menunggu terkuaknya pintu yang menghubungkan ke suatu golongan. Mengaitkan diri kepada kewajiban dakwah ini pada dasarnya merupakan konsekuensi agama, yang diketahui sangat esensial. Hal ini bisa dilakukan dengan mengeluarkan para pemeluk Islam dari ghurbah mereka yang kedua, sebagaimana yang pernah ditetapkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Artinya : Islam itu berawal dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti awalnya. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing.”[1]
Tidak ada cara untuk menghilangkan ghurbah (keterasingan) ini kecuali dengan cara yang pernah diterapkan untuk mengenyahkan ghurbah yang pertama. Maka dari itu Imam Malik berkata, “Akhir umat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan sesuatu yang membuat awalnya menjadi baik.” Dengan kata lain mengikuti manhaj nubuwah.
Gambaran mengikuti manhaj nubuwah ini tercermin pada diri orang-orang yang hidup pada abad pertama. Maka siapapun yang mengikuti mereka, dia disebut jama’ah Muslimin, pembawa akidah Islam yang benar, orang yang selamat dari syahwat dan syubhat, terlepas dari orang yang memisahkan diri dari jama’ahnya, baik dalam hakikat maupun manhaj-nya, baik dengan sebutan atau gambaran tertentu, bisa diibaratkan perintang antara Islam dan hati, karena itu merupakan jalan yang tidak sempurna.”
Kalau pun jalan dakwah itu jelas arahnya dan memungkinkan bisa dilalui seseorang, maka dapat kami katakan, “Seperti apapun keadaannya, sebagian orang tidak bisa beranggapan bahwa perintah mencari sarana-sarana dakwah mempunyai keleluasaan yang terbuka lebar bagi para da’i. Mereka bisa menentukan pilihannya sendiri yang memang sesuai dengan keadaan dan masanya, selagi tujuannya benar.”
Kami katakan pula, “Kaidah yang seringkali digunakan: ‘Sarana mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan hukun tujuan’, tidak bisa diterima. Sebab kadangkala sarana justru merupakan perusak yang dimakruhkan atau pun diharamkan, hanya sebatas pada sarana itu saja. Padahal tidak ada sarana yang dijadikan untuk sesuatu yang haram maupun yang makruh.” [2]
Begitulah permasalahan yang terjadi di berbagai golongan yang berkembang pada masa sekarang. Keberadaan golongan-golongan ini justru memecah belah para da’i, penyakit di dalam hati manusia sulit disembuhkan dan menggolong-golongkan umat. Padahal kita telah mengakui bahwa kelebihan jama’ah-jama’ah Islam atas kaum muslimin sendiri merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri kecuali oleh orang yang sombong.[3]
Realitas ini, dengan berbagai ragam sarana yang diupayakan, harus dihadapi para ulama. Namun sarana yang direkaysa untuk sesuatu yang mubah, meskipun tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan yang merusak, justru kerusakannya lebih kentara daripada kemaslahatannya. Hal ini harus dicegah.
Apabila salah seorang di antara kita –para da’i — memandang keadaaan di sekitarnya, apakah yang dia dapatkan dari penggolong-golongan manusia? Tentu mereka akan melihat beberapa pengelompokan sebagai berikut:
[1]. Kelompok orang-orang kafir atau ateis.
[2]. Kelompok orang-orang Muslim, tetapi mereka meninggalkan sebagian kewajiban dan tenggelam dalam sebagian kedurhakaan.
[3]. Kelompok orang-orang Muslim yang melaksanakan kewajiban, menjauhi hal-hal yang dilarang, tetapi mereka meremehkan kewajiban dakwah.
[4]. Sama dengan kelompok ketiga, ditambah lagi dengan kepedulian dakwah menurut petunjuk Islam dan kesucian Sunnah, tanpa berhimpun dengan suatu golongan.
[5]. Jama’ah-jama’ah Islam, kelompok-kelompok da’i dan golongan-golongan Islam.
Setelah ada kejelasan tentang pengelompokan-pemgelompokan ini, perhatikanlah apa yang biasa terjadi di antara mereka:
[1]. Bisakah Anda mendapatkan bara perselisihan?
[2]. Bisakah Anda mendapatkan penyakit-penyakit jiwa?
[3]. Bisakah Anda mendapatkan kompetisi yang dibenci?
[4]. Bisakah Anda mendapatkan teori-teori baru?
[5]. Bisakah Anda mendapatkan perpecahan yang nyata?
[6]. Bisakah Anda mendapatkan senyuman yang masam?
[7]. Bisakah Anda mendapatkan pengesahan sekaligus pendustaan?
[8]. Bisakah Anda mendapatkan gunjing-menggunjing?
[9]. Bisakah Anda mendapatkan kesewenang-wenangan dan penakwilan?
[10]. Bisakah Anda mendapatkan slogan-slogan yang batil?
[11]. Bisakah Anda mendapatkan pengakuan-pengakuan yang gagal di tengah jalan?
Kami dapat memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus merupakan jawaban. Maka Anda tak perlu mencarai-cari.
Jadi bisa kami katakan, bahwa keanekaragaman komando dan jama’ah Islam pada masa sekarang merupakan keadaan sakit yang tidak boleh dibiarkan berlanjut, apa pun keadaannya.
Setiap orang Muslim bertanggung jawab menyembuhkan realitas ini, agar orang-orang Muslim dapat kembali seperti keadaan mereka terdahulu, yaitu sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk semua manusia, dan agar semua agama hanya bagi Allah semata.[4]
Berdasarkan hal ini golongan –golongan tersebut secara zhahirnya merupakan sarana yang terorganisir bagi amal Islamy, untuk mewujudkan tujuan diciptakannya manusia, yaitu beribadah kepada Allah dan menyeru kepada-Nya. Tetapi golongan-golongan ini berubah menjadi bentuk yang aneh di dalam tubuh umat Islam, yaitu menjadi tujuan dan dan menjadi pusat penimbunan amal Islamy, dengan mengeluarkan vonis yang dijatuhkan kepada jama’ah-jama’ah dan da’i-da’i lain. Keberadaan golongan-golongan ini berubah menjadi tujuan untuk mengokohkan kekuasaan individual. Buktinya adalah perselisihan yang seringkali terjadi untuk memperebutkan tampuk kepemimpinan golongan, penumpukan harta atau setidak-tidaknya mencari kedudukan yang berpengaruh.
Al-hasil, tidak boleh mempergunakan sarana yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat dan tanpa didukung dalil atau menggunakan sarana yang tadinya sesuai dengan ketentuan syariat, namun akhirnya ia menjurus kepada kejahatan dan bertentangan dengan kitab serta sunnah. Sebab segala sesuatu yang menjurus kepada fitnah perpecahan, bukan termasuk dari bagian agama, baik perkataaan maupun perbuatan. [5]
Ada satu urgensi yang bisa memperjelas permasalahan bahwa amal-amal orang Muslim yang sesuai dengan ketentuan syariat harus dilaksanakan sebagai sarana untuk tujuan yang paling tinggi, yaitu beribadah kepada Allah dan memurnikan ibadah itu.
Dakwah kepada Allah dari pintu ini juga merupakan sarana untuk menegakkan ubudiyah di dalam jiwa, dan menyebarkannya di antara manusia juga merupakan ibadah. Yang menjadi landasan dalam berbagai ibadah adalah menahan diri dan pembatalan sehingga ada dalil yang memerintahkannya.
Jadi di sini (ibadah) tidak ada tempat untuk eksperimen individual maupun rekayasa pemikiran. Ini merupakan medan ibadah, tidak ada tempat untuk qiyas dan pendapat. Cara ini akan mendatangkan kemuliaan dalam tujuan dan kesucian dalam sarana. Tidak ada keleluasaan bagi kita untuk menyelimuti dakwah kepada Allah dengan aturan di luar dakwah.
Dakwah yang terdiri dari sarana dan tujuan merupakan hakikat dakwah yang sudah tetap dan tidak berubah-ubah dengan karena perubahan tempat dan waktu serta keadaan. Dasar dalam sarana memilih sarana penyebaran dakwah juga harus dibatasi pada manhaj nubuwah. Sebab faktor-faktor yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya merupakan ibadah.
Sarana-sarana dakwah pada masa sekarang, sebelum dan sesudahnya harus sama dengan sarana-sarana dakwah yang dengannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Sarana-sarana itu tidak berbeda penggunaannya untuk masa kita sekarang kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan dasar-dasarnya yang harus ditahan. Boleh ada perubahan, tetapi perubahan itu harus dibatasi dengan ketentuan syariat dan ditimbang dengan ukuran Kitab serta Sunnah. Selagi ada sesuatu yang menyimpang dari keduanya, maka ia harus dihindari dan dijauhi.
Sedangkan sarana kontemporer yang disanjung-sanjung [6] maka tidak bisa diterapkan. Sebab jalan dakwah itu merupakan satu jalan, yaitu yang dilalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya sejak awal. Kita dan semua da’i juga harus meniti jalan itu, baik dalam timbangan iman maupun amal, dilakukan dalam suasana penuh kecintaan dan persaudaraan. Maka terbentuklah satu kekuatan akidah, yang kemudian mengimbas kepada kekuatan persatuan. Jama’ah mereka merupakan jama’ah ideal, yang kalimatnya pasti unggul dan dakwahnya pasti memperoleh kemenangan, meskipun semua penduduk bumi menjauhinya. [7]
Ini merupakan masalah yang sangat urgen, yang rinciannya membentuk sekian banyak da’i. Maka yang harus dilakukan sekarang ialah mengamati bagaimana detailnya, tidak mencampur aduk makna-maknanya, tidak boleh menjadi corong dari kepentingan-kepentingan tertentu dan nafsu, bukan untuk direkayasa biar terlihat baik dan tidak boleh hanya sekedar percobaan.
[Disalin dari buku Ad-Da’wah ilallah Bainat-Tajammu’l-hizby Wat-Ta’awunisy-Syar’y, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary. Edisi Indonesia: Menggugat Keberadaan Jama’ah-Jama’ah Islam. Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar. Cet.Pertama, September 1994; hal.45-52]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan Muslim, hadits nomor, dari Abu Hurairah. (demikan tertulis di buku terjemahan. Tanpa dikuti nomornya; Hadits dari Abu Hurairah ini dikeluarkan Muslim (2/175-176)- Ibnu Tumingan)
[2]. Madarijus-Salikin, Ibnul Qayyim,1/116
[3]. Masyru’iyyatul Amalil Jama’y, hal.27
[4]. Manhajul Anbiya’ Fid Da’wah Ilallahi, 1/168
[5]. Al-Istiqomah, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah,1/37
[6]. Seperti menjadaikan harta benda sebagai pijakan untuk menghimpun manusia dan mendekati mereka. Cara ini tak ubahnya cara yang dilakukan para missionaris. Jika harta berkurang, maka berkurang pula imannya. Jika harta lenyap, maka lenyap pula keyakinannya, seperti yang seringkali kita lihat.
[7]. Thariqud-Da’wah, hal.13
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1984-antara-sarana-dan-tujuan.html